Langit sudah mendung saat saya dan Antila berada di daerah Banyumanik. Untunglah jalanan tidak seramai sebelumnya saat kami masih berada di pusat kota. Saya senang sebenarnya Semarang semakin ramai oleh pengunjung dari luar kota. Tapi terkadang keramaiannya membuat saya sesak nafas. Sesekali ingin juga menjauh dari tempat-tempat yang saya tahu pasti mengundang keramaian turis seperti Kota Lama.

Kalau mencari tempat yang sejuk dan tenang di sekitar kota Semarang, jawabannya sudah pasti adalah Ungaran. Kebetulan saya sudah lama ingin kembali mengunjungi kafe yang bernama Joko Kopi.

Joko Kopi tidak sulit dicapai. Saya hanya perlu menelusuri jalan raya utama Semarang-Solo, lalu berbelok dan sedikit menelusuri jalan yang lebih kecil (Google map sangat bisa diandalkan untuk mencari lokasi kafe ini). Hanya saja, saya tetap melewatkan kafe ini saat melaju, sampai akhirnya kami harus berbalik. Joko Kopi tidak memasang papan nama sama sekali di depan kafenya –sesuatu yang saya suka, meskipun mengenali tempat ini jadi harus lebih teliti.

Joko Kopi bukanlah kafe yang besar. Ada tiga bangunan –satu bangunan satu lantai di sisi kanan dan dua bangunan dua lantai di sisi kiri. Bangunan di sisi kanan hanya dipergunakan sebagai dapur, sedangkan pengunjung bisa duduk di dua bangunan di sisi kiri. Yang paling populer sudah jelas bangunan yang paling dekat dengan sawah.

Untungnya tempat itu sedang tak terlalu ramai saat kami sampai. Kami memilih duduk di bawah bagian dalam kafe, karena saat itu hujan gerimis masih turun. Di dalam kafe ada segerombol bapak-bapak dan ibu-ibu sedang bertukar cerita dengan ceria, seperti teman-teman lama yang sedang melakukan reuni. Wajah mereka sudah mulai muncul keriput, tapi semangatnya dalam berbicara masih seperti anak muda. Mungkin saya juga nantinya tidak pernah ingat usia saat tua, kecuali diingatkan.

Saat hujan reda, kami memindahkan makanan dan minuman kami dan duduk di luar. Udara memang lebih dingin, tapi juga lebih segar sehabis hujan. Saya serasa lupa bahwa kami sedang tidak jauh dari Semarang yang kian lama kian ternama, membawa banyak pendatang. Saya suka pendatang, mereka meramaikan kota kelahiran saya, tapi saya rindu juga kadang dengan keheningannya. Dulu masih banyak sudut kota Semarang yang menyenangkan dijadikan tempat menyendiri, tapi kini sudah jauh berkurang jumlahnya.

“Enak sekali tempat ini.”

“Iya, kan? Kayak di Ubud ya,” saya senang melihat respon positif Antila, sampai tidak sadar muncul kebiasaan jelek saya menyama-nyamakan suatu tempat dengan tempat lain.

Tidak ada penanda atau dekorasi mencolok yang membuat seseorang ingin berfoto di depannya lalu mengeposnya di media sosial. Ketika banyak tempat lain berlomba-lomba membuat spot yang instagrammable, Joko Kopi menawarkan pesona yang klasik: minuman hangat, tempat yang nyaman untuk bercengkerama di samping kekayaan yang sudah lama kita miliki –berpetak-petak sawah, langit yang luas, dan udara segar.

Tidak semua tempat indah harus terlihat cemerlang di media sosial. Terkadang ada pesona yang tak tertangkap sepenuhnya oleh kamera, karena memang takdirnya untuk sepenuhnya dinikmati dengan panca indera manusia. Tapi saya yakin hanya dengan satu kunjungan meski hanya sejenak, setiap orang pasti mampu merasakan sesuatu yang membuat mereka ingin kembali. Seperti saya yang kembali saat ini. Seperti saya juga yang ingin kembali lagi ke tempat ini, nanti.

Destria Aryani